Khulu’
(istri minta cerai kepada suami)
A. Pengantar
Pernikahan adalah sarana
untuk menyatukan dua orang manusia yang berlainan jenis (laki-laki dan
perempuan) dalam sebuah ikatan suci guna mencari ridho Allah swt, namun
dalam realitanya, pernikahan banyak di jadikan oleh sebagian orang
sebagai kedok belaka, untuk menjaga gengsi dan lain sebagainya yang pada
dasarnya telah menyalahi tujuan dari di syariatkannya sebuah
pernikahan, yaitu ibadah. seorang suami adalah pemimpin dalam sebuah
rumah tanga. Dia mendapat tanggung jawab yang besar untuk memimpin istri
dan keluarganya, yang wajib di taati oleh seorang istri dan
anak-anaknya. Namun begitu seorang suami tidak boleh berbuat semaunya
terhadap keluarganya, khususnya istri sebagaimana di perintahkan oleh
Allah “..dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik..”,
dia memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ia tunaikan kepada istrinya.
Dalam sebuah haditsnya Nabi bersabda : “ sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik terhadap
istriku” Seorang istri diwajibkan untuk taat kepada suaminya, bahkan
dalam sebuah haditsnya nabi mengatakan “ kalaulah boleh aku
memerintahkan seseorang itu sujud kepada manusia, niscaya akan aku suruh
para istri itu untuksujud kepada suaminya.” Seorang istri juga memiliki
kewajiban-kewajiban yang harus ia tunaikan kepada suaminya.. artinya,
keduanya harus saling menunaikan kewajiban nya masing-masing. Nah, dalam
berumah tangga, jika seorang suami merasa tidak sanggup untuk
melaksanakan kewajibannya, atau ia merasa bahwa istrinya sudah tidak
pantas/cocok dengannya, maka ia boleh menceraikannya sebagi alternative
untuk menjaga diri Dari dosa-dosa yang akan terjadi anday pernikahan itu
tetap berlanjut, dan si istri tidak dapat menolaknya. Begitu juga
halnya jika seorang istri merasa tidak sanggup untuk melaksanakan
kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri, maka ia diperbolehkan
untuk meminta cerai kepada suaminya dengan memberikan ganti (tebusan)
untuk dirinya kepada suaminya tersebut kecuali jika suaminya
merelakannya. Sejatinya, pernikahan adalah sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah, bahkan dikatakan bahwa orang yang telah menikah berarti
ia telah menyempurnakan agamanya. Namun jika ternyata pernikahan itu
tidak bisa menjalankan fungsinya, maka Allah telah memberikan jalan
keluar bagi setiap Muslim/ah yang telah menikah untuk keluar dari
dosa-dosa yang dapat menyebabkan kepada kekufuran. Ketahuilah tidak ada
kebahagiaan dalam sesuatu yang di paksakan, karna itu Allah berfirman:
“…tidak ada paksaan dalam agama” dan firman-Nya: “..Janganlah kamu
menahan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka..” QS. Al-baqoroh
B. Definisi Kata khulu’ secara
bahasa berarti menanggalkan. Sedangkan secara epistimologi berarti
seorang istri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar ganti
(tebusan).
C. Hukumnya - Boleh. - Bahkan ada yang mewajibkannya ketika
keduanya (suami-istri) atau salah satu dari keduanya (suami/istri)
khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Dengan dalil:
-AlQuran : QS. Al-baqoroh ayat 229 …))وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ(( “…Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim.” Dan hadist: عن ابن عباس رضي الله عنهما أن
امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله, ٍ
ثابت بن قيس ما أعيب عليه في خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر في الاسلام،
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اتردين عليه حديقته، قالت نعم، فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم اقبل الحديقه وطلقها تطليقة “ Artinya: Dari
Ibnu Abbas RA, bahwasannya istri qois bin tsabit datang kepada Nabi SAW
dan berkata: “ ya Rasulullah, tsabit bin qais, aku tidak mencela agama
dan akhlaknya, akan tetapi aku tidak ingin kafir (karna durhaka pada
suami) setelah aku masuk islam.” Maka Nabi SAW bersabda: “apakah kamu
bersedia mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai mahar)?.” Dia
menjawab: “ya”. Maka Nabi bersabda (kepada Qois): “ terimalah kebun itu
dan ceraikanlah ia dengan satu tholaq”. HR. Bukhori D. Keterangan ayat
& hadits:
1. khulu’ boleh dilakukan ketika keduanya (suami-istri)
atau salah satu dari keduanya (suami atau istri) merasa tidak sanggup
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan (hukum) Allah dalam pernikahan.
2. khulu’ adalah hak seorang istri terhadap suaminya, sebagai mana
tholaq merupakan hak seorang suami terhadap istrinya. jika seorang istri
meminta khulu’ kepada suaminya maka sang suami tidak boleh menyempitkan
haknya, seperti yang dilakukan Nabi kepada istri Qois, beliau menyuruh
Qois untuk menceraikan istrinya setelah mengambil kembali kebun yang ia
berikan sebagai mahar perkawinannya tanpa mempersulit istri Qois bin
tsabit.
3. Tsabit bin qois adalah seorang sahabat anshor dari suku
khazraj, dia ikut dalam perang uhud bersama nabi, dan dia merupakan
khotib kaum anshor dan juga Nabi SAW. Termasuk orang yang di jamin
syorga untuknya oleh Nabi SAW.
4. perkataan “kafir setelah islam”
artinya “ benci untuk tinggal bersamanya sehingga menyebabkan kekufuran
seperti durhaka kepada suami, tidak taat kepada suami, tidak dapat
melayani suami dll.
5. imam asy-syafi’i dan abu hanifah serta kebanyakan
ahli ilmu mengatakan bahwa khulu’ boleh dilakukan dengan ridho kedua
belah pihak baik dalam keadaan (rumah tangga) tenang maupun tidak.
6. di
dalam ayat di atas di katakan “ dan jika kalian takut..” ketakutan itu
adalah dugaan dan perkiraan dimasa yang akan datang, maka ayat ini
menunjukkan bahwa khulu’ itu boleh dilakukan meskipun keadaan rumah
tangga sedang baik-baik saja dan keduanya bisa menjalankan
ketentuan-ketentuan Allah. Atau ketika rumah tangga sudah retak, karna
mereka tidak akan tahu kesanggupan mereka dalam menjalankan
ketentuan-ketentuan Allah itu kecuali setelah menjalaninya.
7. seorang
suami di perbolehkan mengambil lagi apa yang telah ia berikan kepada
istrinya (mahar) tanpa meminta lebih. Jumhur ulama sepakat bahwa seorang
suami boleh meminta lebih dari mahar, tapi imam malik mengatakan :
“..aku tidak melihat salah seorang ulama pun yang melarangnya (meminta
lebih), tapi itu bukanlah akhlak yang terpuji. Imam Atho, thowus, ahmad,
ishak, hadawiyah dan yang lainnya mengatakan: “tidak boleh bagi suami
meminta lebih dari mahar berdasarkan hadits di atas” Abu bakar bin
Abdullah almuzany menukil dari jumhur ulama bahwa: “ tidak halal bagi
seorang suami untuk meminta apa-apa dari istrinya (yang minta cerai)
dengan dalil bahwa ayat 229 dari surat albaqoroh diatas telah dihapus
hukumnya oleh surat an-Nisa ayat 20. وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ
زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا
تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“…Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280],
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”
8. perintah nabi
dalam hadits diatas adalah untuk menunjukkan, bukan mewajibkan. Tetapi
yang jelas adalah wajib, dengan dalil : فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ “…Setelah itu boleh menahan (rujuk lagi) dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” Didalm ayat
ini Allah memberikan dua pilihan, menahan dan melepaskan. Sementara
menahan tidak mungkin lagi karna ini adalah permintaan dari si istri.
Berdasarkan ayat ini, maka seorang suami wajib melepaskan (menceraikan)
istrinya itu.
9. khulu’ adalah fasakh (membatalkan) bukan tholaq.
Seorang istri yang minta cerai kepada suaminya maka iddahnya adalah 1
kali haidh dan setelah itu mereka tidak dapat rujuk lagi selamanya.
10.
khulu’ boleh dilakukan dalam keadaan suci atau pun haidh. Tidak seperti
tholaq yang boleh dilakukan hanya ketika seorang istri dalam keadaan
suci.
11. sebuah qoidah ushul fiqh mengatakan : درء المفاسد أولى من جلب
المصالح “ menolak (mencegah) keburukan harus di utamakan dari pada
mencari kebaikan” Jika kita menikah adalah untuk mencari kebaikan, tapi
ternyata setelah menikah bukannya kebaikan yang kita dapatkan, melainkan
dosa yang terus bertambah karna keduanya atau salah satu dari keduanya
tidak mau menjalankan kewajibannya. Maka disini, menyudahi pernikahan
itu (untuk menghilangkan kejelekan/dosa) itu lebih utama dari pada
mempertahankannya untuk mencari kebaikan (tapi tidak mendapatkannya).
Perceraian bukanlah sesuatu yang hina di mata Agama, justru jika dengan
bercerai itu seseorang bisa lebih memperbaiki diri dan menyelamatkan
agamanya, tentulah itu akan lebih baik baginya daripada ia
berlarut-larut dalam lumuran dosa rumah tangga. Tetapi yang perlu
diperhatikan adalah, hendaknya perceraian merupakan jalan terakhir yang
ditempuh untuk mencari ridho Allah SWT.
E. REFERENSI
1. Al-Quran
2.
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid
3. Kifayatul Akhyar, fil khulu’
4. Subulus Salam jilid 3, bab khulu’
5. Bulughul Marom, bab khulu’
6.
Tafsir At-Thobary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar